Selasa, 28 Februari 2012

Pendidikan Karakter Tak Bisa Sekejap Mata

Pendidikan Karakter Tak Bisa Sekejap Mata
JAKARTA, KOMPAS.com - Pendidikan karakter pada anak penting diterapkan sejak dini. Hasilnya memang tak akan terlihat seketika. Direktur Sekolah Karakter Wahyu Farrah Dina mengungkapkan, hasil pendidikan karakter yang diberikan sekolah kepada murid tak lantas bisa terlihat dalam jangka pendek. Bisa saja terlihat pada waktu murid beranjak remaja atau saat dewasa.

"Dan prosesnya enggak langsung oke semua. Cuma kita sudah melakukan proses ke sana (untuk mendidik murid berperilaku baik)," ucap Wahyu kepada Kompas.com, di Jakarta, Sabtu ( 25/2/2012 ).

Wahyu menjelaskan, bisa jadi ada sleeper effect (efek tidur). Maksudnya, pendidikan karakter bisa terpendam pada diri seorang murid dan akan muncul pada suatu waktu, misalnya, ketika anak menjadi dewasa.

"Sleeper effect, kalau misalnya pas di SD tidak terlalu terlihat tetapi pas dewasa bisa kelihatan. Kita enggak bisa saklek berhasil saat itu juga," tegas Wahyu.

Selain ada efek tidur, ia mengungkapkan, berhasil atau tidaknya pendidikan karakter diserap dan berkembang dalam diri anak juga tergantung dengan lingkungan pergaulannya. Menurut dia, pendidikan karakter bisa gagal, salah satunya, ketika si anak mendapat tekanan baik itu dari orangtua atau pun lingkungan sekitarnya.

Ketika anak sering mendapatkan pukulan atau hukuman dari orangtua, maka yang tertanam adalah pendidikan karakter yang tidak baik. Selain orangtua, jenis permainan seperti video game ternyata juga berpengaruh besar.

Sekalipun agak sulit dibandingkan, Wahyu mengatakan, pernah dilakukan penelitian, dan hasilnya memperlihatkan TK yang menggunakan kurikulum pendidikan karakter menghasilkan murid yang berperilaku lebih baik ketimbang TK biasa.

"Ketika anak berada di kelas 4 SD, ia lebih baik. Efek tidur semakin baik dan semakin baik," kata dia.

Selain hasil akademis yang baik, indikator yang bisa dipakai untuk memperlihatkan berhasil atau tidaknya pendidikan karakter di sekolah adalah kian sedikit atau bahkan tidak adanya catatan kejahatan, seperti aksi tawuran pelajar.

Senin, 20 Februari 2012

Memahami Kebutuhan Emosional Anak

Memahami Kebutuhan Emosional Anak
Anak dan remaja lebih dikendalikan oleh emosi-emosi mereka daripada pemikiran rasional dan logis. Emosi ini menjelaskan mengapa anak dan remaja berperilaku demikian, termasuk perilaku yang merusak diri sendiri. Jadi jika kita ingin memotivasi mereka, sebaiknya kita pahami lebih dulu emosi yang mengendalikan mereka dan memanfaatkannya untuk mengarahkan perilaku dan pemikiran yang lebih memperdayakan.

Berikut adalah ketiga kebutuhan emosional anak:

1. Kebutuhan untuk merasa AMAN

Salah satu kebutuhan terkuat yang dibutuhkan soerang anak adalah perasaan aman. Aman didalam diri dan lingkungannya. Remaja mencari rasa aman dengan bergabung dengan sekelompok “geng” atau sekumpulan teman sebaya mereka, terlibat aturan sosial diantara mereka, serta meniru perilaku temannya.

Seorang psikolog Dr. Gary Chapman, dalam bukunya “lima bahasa cinta” mengatakan kita semua memiliki tangki cinta psikologis yang harus diisi, lebih tepatnya jika anak maka orangtuanya yang sebaiknya mengisi. Anak yang tangki cintanya penuh maka dia akan suka pada dirinya sendiri, tenang dan merasa aman. Hal ini dapat diartikan sebagai anak yang berbahagia dan memiliki “inner” motivasi.

Contoh, terdorong oleh rasa cinta kepada anaknya seorang ibu memarahi anaknya yang sedang bermain computer. “berhenti maen computer dan belajar sekarang” lalu apa yang ada dibenak anak? Mungkin “Hmpf… Ibu tidak sayang padaku, dan ingin mengendalikan aku serta keasyikanku” Nah, anak menerimanya sebagai hal yang negatif, komunikasi yang menghancurkan rasa cinta ini biasanya yang menjadi akar permasalahan orangtua dan anak, serta guru.
“Mencintai anak tidak sama dengan anak merasa dicintai”
Apa yang menyebabkan kebutuhan akan rasa aman tidak terpenuhi?
  • Membandingkan anak dengan saudara atau orang lain

Ketika kita mengatakan “mengapa kamu tidak bisa menjaga kebersihan kamar seperti kakakmu”, “kenapa kamu tidak bisa menulis serapi Rudi”. Akan tumbuh perasaan ditolak, tidak diterima, mereka akan berpikir “papa/mama lebih suka dengan…” hal ini menumbuhkan sikap tidak suka dengan dirinya sendiri dan ingin menjadi orang lain. Mereka merasa aman dengan menjadi orang lain, bukan merasa aman dan nyaman menjadi dirinya sendiri.
  • Mengkritik dan mencari kesalahan

Ketika kita mengatakan: “dasar anak bodoh, apa yang salah denganmu? Kenapa kamu tidak dapat melakukan sesuatu dengan benar?” Dapat dipastikan, akan menimbulkan perasaan dendam, tidak ada rasa aman dilingkungan rumah (jika hal ini sering terjadi dirumah).
  • Kekerasan fisik dan verbal

Saya rasa tidak perlu dijelaskan lagi, hal ini sudah banyak kita temui di surat kabar dan berita ditelevisi, dan bahayanya atau akibatnya juga sering kita temui di media tersebut. Jika tidak ada rasa aman dalam rumah, maka seorang anak akan mencari perlindungan untuk memenuhi rasa aman mereka disemua tempat yang salah. Dan anak akan melakukan apa saja untuk mendapatkan rasa aman ini, mencari perhatian dengan cara yang salah.

2. Kebutuhan akan pengakuan (merasa penting) dan diterima atau dicintai

Jarang sekali orangtua membuat anak-anak mereka merasa penting dan diakui dirumah. Sebaliknya banyak orangtua yang membuat anak mereka merasa kecil dan tidak berarti dengan ancaman: “lebih baik kerjakan PR-mu sekarang, atau…”

Apa yang ada dalam pikiran anak jika diperlakukan seperti itu? Kita orangtua justru senang jika anak melakukan hal yang kita perintah, tapi yang ada dipikiran anak adalah mereka merasa kalah dengan melakukan apa yang diperintahkan orangtua dengan cara seperti itu. Sehingga banyak anak yang menunda atau tidak mengerjakan apa yang ditugaskan orangtua (bahkan dengan ancaman sekalipun) untuk memenuhi kebutuhan emosionalnya akan pengakuan.
 Peringatan keras bagi orangtua: Jika anak-anak tidak merasa dicintai dan diterima oleh orangtua, mereka akan terdorong untuk mencarinya disemua tempat yang salah.

Keinginan seorang anak untuk diakui dan ingin dicintai begitu kuat, sehingga mereka akan melakukan apa saja untuk mendapatkannya. Jika mereka tidak mendapat pengakuan dengan cara yang benar maka akan menemukan dengan cara yang salah dan ditempat yang salah. Kebutuhan ini mendorong beberapa anak dan remaja untuk menggunakan tato, mengganggu anak lain, bergabung dengan geng pengganggu, mengecat rambut dengan warna menyolok, bertingkah laku seperti badut dan pelawak. Hal ini umumnya menyusahkan mereka sendiri, tetapi demi mendapatkan pengakuan dan diterima (mendapatkan perhatian).
Ada kasus ekstrim pada 16 april 2007, seorang siswa US Virginia Tech, Cho Seng-hui. Menembak dan menewaskan 32 siswa. Apa yang mendorong perilaku tersebut, sehingga dia melakukan hal yang begitu luar biasa gila? Dia melakukan hanya karena kebutuhan pengakuan dan rasa pentingnya begitu besar, tetapi tidak terpenuhi oleh orang-orang yang mengabaikannya dan menghinanya. Hal itu memaksanya keluar dari dunia logika dan merenggut nyawa orang lain serta dirinya sendiri, dalam pikirannya dia berpikir lebih baik mati bersama nama buruk dari pada hidup bukan sebagai siapa-siapa.
3. Kebutuhan untuk mengontrol (merasa mandiri atau keinginan untuk mengontrol)
Seiring pertumbuhan anak, sembari mencari identitas diri dan sambil belajar membangun kemandirian dari orangtua. Proses ini menciptakan kebutuhan emosional untuk bebas dan mandiri.

Jadi itu sebabnya anak tidak mau didikte untuk apa yang harus dilakukan. Mereka merasa tidak “gaul” mendengarkan orangtua. Dengan mendengarkan nasihat orangtua mereka seakan diperlakukan seperti anak kecil. Ini menjelaskan mengapa anak lebih mendengarkan teman mereka dan om atau tante (paman atau bibi) yang masih muda dari pada orangtuanya sendiri.

Orangtua yang cerdas, tidak akan menyerah menghadapi hal ini. Bagaimana caranya memberikan arahan dan agar anak mau mendengar orangtua? Gunakan komunikasi yang tidak bermaksud memaksa anak dengan nasihat kita. Buatlah seakan-akan mereka belajar dan bekerja keras untuk diri mereka sendiri bukan untuk kita. mereka akan lebih bersemangat dan termotivasi dengan cara seperti itu. Dan yang terpenting adalah memenuhi tangki cinta anak kita setiap hari dan memastikan selalu penuh saat bangun anak bangun tidur dan menjelang tidur. Dengan begitu anak tahu siapa yang paling mengerti dan sayang, serta kepada siapa dia akan datang pada saat membutuhkan seseorang untuk mendengar, yaitu kita orangtuanya.

Ambilah manfaat dari informasi ini, kenali kebutuhan emosi anak kita. Pekalah dimana saat anak membutuhkan penerimaan, kebutuhan untuk mengontrol sesuatu, serta butuh untuk aman. Gunakan kata-kata yang tepat untuk memenuhi kebutuhan tersebut, berikut tips dan cara memenuhi kebutuhan emosi dasar seorang anak:
1. Rasa aman:
  • Tenang sayang kamu aman bersama papa, mama akan temani kamu, hey… papa disini bakal jaga kamu sayang
2. Rasa penerimaan atau dicintai:
  • Biasakan menatap mata saat berbicara pada anak, usahakan tatapan mata adalah datar atau “mata sayang”
  • Sentuh bagian bahu saat berbicara atau bagian manapun asal sopan, untuk menunjukan bahwa kita ada bersama dan dekat dengan anak
  • Usahakan sejajar (berdiri sejajar dengan anak atau berlutut)
  • Katakan: apapun yang terjadi papa/mama tetap sayang sama kamu, kamu tetap jagoan papa/mama, dimata papa/mama kamulah yang paling cantik
3. Kebutuhan untuk mengontrol:
  • Jika memungkinkan, jika anda melihat anak anda perlu untuk melakukan sesuatu sendiri maka ijinkanlah
  • Sebenarnya itu adalah proses belajar untuk dirinya sendiri dan akan sangat bermanfaat dimasa dewasa
  • Harga diri anak akan semakin tinggi, jika kita rajin memberikan kontrol kepada anak, karena anak merasa mampu melakukan kegiatan tanpa bantuan (tentunya kegiatan yang aman sesuai dengan kebijaksanaan orangtua)
  • Luangkan waktu khusus untuk beraktivitas dan memberikan kontrol dan mengawasinya dengan kasih sayang, misal: anak umur 2-3 tahun minta makan sendiri, pergi ke sekolah sendiri, dan lain-lain

Kamis, 16 Februari 2012

Kenaikan Gaji PNS (PP No.15 Tahun 2012)

Kenaikan Gaji PNS (PP No.15 Tahun 2012)

Ini mungkin berita tahunan yang senantiasa ditunggu-tunggu oleh para Pegawai Negeri Sipil. Pada tanggal 6 Februari 2012 lalu, Presiden RI telah menetapkan dan menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2012 tentang Perubahan Gaji Pegawai Negeri Sipil, beserta lampirannya, yang diberlakukan sejak 1 Januari 2012.

Menurut Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan, Kiagus Badaruddin,  sebagaimana dirilis oleh Antara.News,  bahwa besarnya kenaikan Gaji Pegawai Negeri Sipil ini sekitar 10 persen dan rapel akan dibayarkan pada  bulan Maret 2012 mendatang. Sementara itu, Wakil Menteri Keuangan, Mahendra Siregar, menyebutkan bahwa gaji tersebut di luar tunjangan keluarga yang besarnya untuk istri/suami sebesar 10% dari gaji pokok dan anak 2% dari gaji pokok, tunjangan pangan sebesar nilai beras per 10 kg per orang, tunjangan jabatan untuk pejabat struktural maupun fungsional serta tunjangan umum untuk yang tidak memegang jabatan struktural maupun fungsional.

Berdasarkan tabel lampiran Peraturan ini, tampak gaji terendah yang diterima seorang PNS adalah sebesar Rp. 1,260,000,-  yaitu bagi  PNS golongan II.a dengan Masa Kerja 0 Tahun, sedangkan gaji tertinggi sebesar Rp.  4,603,700,- bagi  PNS golongan IV.e dengan Masa Kerja 32 Tahun atau lebih.

Sesuai dengan konsideran isi peraturan ini bahwa perubahan gaji  ini dalam rangka meningkatkan daya guna,  hasil guna dan  kesejahteraan Pegawai Negeri Sipil. 

Namun di lain pihak, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) dan Reformasi Birokrasi, Azwar Abubakar, mengatakan bahwa kenaikan gaji PNS ini bersifat umum. “Itu umum saja seperti tahun-tahun sebelumnya. Bukan seperti tunjangan kinerja,” kata Azwar kepada Jawa Pos .

Ungkapan ini sepertinya memberikan sinyal pesimistik kepada  kita bahwa  kenaikan gaji ini tampaknya tidak akan banyak berkolerasi dengan kinerja PNS.
Bagaimana menurut Anda?

Berikut link Download PP dan lampirannya:

Selasa, 14 Februari 2012

Urgensi Pendidikan Karakter

Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat.

Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Pasal I UU Sisdiknas tahun 2003 menyatakan bahwa di antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia.

Amanah UU Sisdiknas tahun 2003 itu bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta agama.

Pendidikan yang bertujuan melahirkan insan cerdas dan berkarakter kuat itu, juga pernah dikatakan Dr. Martin Luther King, yakni
intelligence plus character… that is the goal of true education (kecerdasan yang berkarakter… adalah tujuan akhir pendidikan yang sebenarnya).

Memahami Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif.

Dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.

Terdapat sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu:
  1. Karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya;
  2. Kemandirian dan tanggungjawab;
  3. Kejujuran/amanah, diplomatis;
  4. Hormat dan santun;
  5. Dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong/kerjasama;
  6. Percaya diri dan pekerja keras;
  7. Kepemimpinan dan keadilan;
  8. Baik dan rendah hati, dan;
  9. Karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan.

Kesembilan pilar karakter itu, diajarkan secara sistematis dalam model pendidikan holistik menggunakan metode knowing the good, feeling the good, dan acting the good. Knowing the good bisa mudah diajarkan sebab pengetahuan bersifat kognitif saja. Setelah knowing the good harus ditumbuhkan feeling loving the good, yakni bagaimana merasakan dan mencintai kebajikan menjadi engine yang bisa membuat orang senantiasa mau berbuat sesuatu kebaikan. Sehingga tumbuh kesadaran bahwa, orang mau melakukan perilaku kebajikan karena dia cinta dengan perilaku kebajikan itu. Setelah terbiasa melakukan kebajikan, maka acting the good itu berubah menjadi kebiasaan.

Dasar pendidikan karakter ini, sebaiknya diterapkan sejak usia kanak-kanak atau yang biasa disebut para ahli psikologi sebagai usia emas (golden age), karena usia ini terbukti sangat menentukan kemampuan anak dalam mengembangkan potensinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50% variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika anak berusia 4 tahun. Peningkatan 30% berikutnya terjadi pada usia 8 tahun, dan 20% sisanya pada pertengahan atau akhir dasawarsa kedua. Dari sini, sudah sepatutnya pendidikan karakter dimulai dari dalam keluarga, yang merupakan lingkungan pertama bagi pertumbuhan karakter anak.

Namun bagi sebagian keluarga, barangkali proses pendidikan karakter yang sistematis di atas sangat sulit, terutama bagi sebagian orang tua yang terjebak pada rutinitas yang padat. Karena itu, seyogyanya pendidikan karakter juga perlu diberikan saat anak-anak masuk dalam lingkungan sekolah, terutama sejak play group dan taman kanak-kanak. Di sinilah peran guru, yang dalam filosofi Jawa disebut digugu lan ditiru, dipertaruhkan. Karena guru adalah ujung tombak di kelas, yang berhadapan langsung dengan peserta didik.

Dampak Pendidikan Karakter

Apa dampak pendidikan karakter terhadap keberhasilan akademik? Beberapa penelitian bermunculan untuk menjawab pertanyaan ini. Ringkasan dari beberapa penemuan penting mengenai hal ini diterbitkan oleh sebuah buletin, Character Educator, yang diterbitkan oleh Character Education Partnership.

Dalam buletin tersebut diuraikan bahwa hasil studi Dr. Marvin Berkowitz dari University of Missouri- St. Louis, menunjukan peningkatan motivasi siswa sekolah dalam meraih prestasi akademik pada sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan karakter. Kelas-kelas yang secara komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter menunjukkan adanya penurunan drastis pada perilaku negatif siswa yang dapat menghambat keberhasilan akademik.

Sebuah buku yang berjudul Emotional Intelligence and School Success (Joseph Zins, et.al, 2001) mengkompilasikan berbagai hasil penelitian tentang pengaruh positif kecerdasan emosi anak terhadap keberhasilan di sekolah. Dikatakan bahwa ada sederet faktor-faktor resiko penyebab kegagalan anak di sekolah. Faktor-faktor resiko yang disebutkan ternyata bukan terletak pada kecerdasan otak, tetapi pada karakter, yaitu rasa percaya diri, kemampuan bekerja sama, kemampuan bergaul, kemampuan berkonsentrasi, rasa empati, dan kemampuan berkomunikasi.

Hal itu sesuai dengan pendapat Daniel Goleman tentang keberhasilan seseorang di masyarakat, ternyata 80 persen dipengaruhi oleh kecerdasan emosi, dan hanya 20 persen ditentukan oleh kecerdasan otak (IQ). Anak-anak yang mempunyai masalah dalam kecerdasan emosinya, akan mengalami kesulitan belajar, bergaul dan tidak dapat mengontrol emosinya. Anak-anak yang bermasalah ini sudah dapat dilihat sejak usia pra-sekolah, dan kalau tidak ditangani akan terbawa sampai usia dewasa. Sebaliknya para remaja yang berkarakter akan terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja seperti kenakalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks bebas, dan sebagainya.

Beberapa negara yang telah menerapkan pendidikan karakter sejak pendidikan dasar di antaranya adalah; Amerika Serikat, Jepang, Cina, dan Korea. Hasil penelitian di negara-negara ini menyatakan bahwa implementasi pendidikan karakter yang tersusun secara sistematis berdampak positif pada pencapaian akademis.

Seiring sosialisasi tentang relevansi pendidikan karakter ini, semoga dalam waktu dekat tiap sekolah bisa segera menerapkannya, agar nantinya lahir generasi bangsa yang selain cerdas juga berkarakter sesuai nilai-nilai luhur bangsa dan agama.

Drs. SUPRIADI, MSI

Republika Online - Pendidikan RSS Feed

KOMPAS.com - Edukasi

  © The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008 modified by DeJaka

Back to TOP